cover pic

Tuesday, September 20, 2016

LIFE JOURNAL #122 : HUJAN PAGI DINGIN



kering suda airmata
buntu hati, mati melepas jalan yang ada
kalau dulu susuk tubuh yang ku puja sehari-harian itu selalu ada
senantiasa tidak pernah jemu membuatku bahagia
dalam duka kita tempuhi bersama
dalam senangnya kita tertawa bersama
asyik
dalam diam tersenyum sendiri
dunia itu terasa kita berdua saja didalamnya
kemana saja kita berdua
hati kecil ini sentiasa kau isi dengan gelak tawamu
yang melalaikan aku dari masalah dunia
yang membawaku jauh dari derita manusia
aku menjauh dari kesedihan
begitulah kamu
cahaya dihujung kegelapan

sepertinya angin kamu beralih arah
menurutmu benar bagiku salah
menurutku benar bagimu salah
hidup aku sentiasa jadi pertaruhan
bahkan bahagiaku seluruhnya ditanganmu
janji jadi kunci pegangan
bila mana aku sendiri
kau kata kau tetap disisi

jauh kian jauh
menjadi semakin jauh
kini kau berusaha menutup semua jalan terangku
tiada satu pun yang tinggal untukku
sedang aku menanti dengan penuh harapan
berharap terang dihujung jalan itu masih wujud
mesti aku tahu jalan itu sudah tiada
hina sangat kah aku dimatamu?
berbeda sangat kah aku yang dulu?
atau aku perlu jadi superior?
baru kau istihar kewujudkanku?

Jangan dihitung sedihku saat ini
meskinya kau takkan tahu
sebab sedihmu dulu ada aku
sedangkan
sedihku kini disebabkan kamu
kamu yang egois
bersyukurlah kamu bahagia skrg
bisa ketawa riang seharian
bersyukurlah

dulu
aku datang dengan rela
walau jauh dimana aku ada
kini
aku kini seperti pengemis
yang cintanya cuma merayu meminta-minta
pada manusia yang tidak lagi punya hati
kalau dulu
pijak semut pun tak mati
tapi kini
tengok mukaku pun tak sudi



“ cinta itu ibarat gula,
semut ada kerana gula
habis gula,
hilanglah semut. ”



5.53 subuh
20 sep 2016

hujan pagi . dingin