kering
suda airmata
buntu
hati, mati melepas jalan yang ada
kalau
dulu susuk tubuh yang ku puja sehari-harian itu selalu ada
senantiasa
tidak pernah jemu membuatku bahagia
dalam
duka kita tempuhi bersama
dalam
senangnya kita tertawa bersama
asyik
dalam
diam tersenyum sendiri
dunia
itu terasa kita berdua saja didalamnya
kemana
saja kita berdua
hati
kecil ini sentiasa kau isi dengan gelak tawamu
yang
melalaikan aku dari masalah dunia
yang
membawaku jauh dari derita manusia
aku
menjauh dari kesedihan
begitulah
kamu
cahaya
dihujung kegelapan
sepertinya
angin kamu beralih arah
menurutmu
benar bagiku salah
menurutku
benar bagimu salah
hidup
aku sentiasa jadi pertaruhan
bahkan
bahagiaku seluruhnya ditanganmu
janji
jadi kunci pegangan
bila
mana aku sendiri
kau
kata kau tetap disisi
jauh
kian jauh
menjadi
semakin jauh
kini
kau berusaha menutup semua jalan terangku
tiada
satu pun yang tinggal untukku
sedang
aku menanti dengan penuh harapan
berharap
terang dihujung jalan itu masih wujud
mesti
aku tahu jalan itu sudah tiada
hina
sangat kah aku dimatamu?
berbeda
sangat kah aku yang dulu?
atau
aku perlu jadi superior?
baru
kau istihar kewujudkanku?
Jangan
dihitung sedihku saat ini
meskinya
kau takkan tahu
sebab
sedihmu dulu ada aku
sedangkan
sedihku
kini disebabkan kamu
kamu
yang egois
bersyukurlah
kamu bahagia skrg
bisa
ketawa riang seharian
bersyukurlah
dulu
aku
datang dengan rela
walau
jauh dimana aku ada
kini
aku
kini seperti pengemis
yang
cintanya cuma merayu meminta-minta
pada
manusia yang tidak lagi punya hati
kalau
dulu
pijak
semut pun tak mati
tapi
kini
tengok
mukaku pun tak sudi
“
cinta itu ibarat gula,
semut
ada kerana gula
habis
gula,
hilanglah
semut. ”
5.53
subuh
20
sep 2016
hujan pagi . dingin